Makna Cinta Sejati
“Tiada hari tanpa ngobrolin cinta…”
Betul itu, tidak salah. Setiap hari dan setiap saat semua orang di
dunia ini tak pernah berhenti-henti membicarakan masalah yang berkaitan
dengan cinta.
Dalam kehidupan manusia, cinta sering menampakkan diri dalam berbagai
bentuk. Kadang-kadang seseorang mencintai dirinya sendiri,
kadang-kadang mencintai orang lain. Cinta pada diri sendiri membuat
seseorang akan mampu menjaga dirinya. Bayangkan kalau seseorang tidak
mencintai diri sendiri, pasti ia takkan peduli dengan kondisi dirinya.
Kalau ia sudah mencintai diri sendiri, akan muncul dorongan sebaliknya,
yaitu membenci segala sesuatu yang dapat memadorotkan dirinya. Namun
yang patut diingat adalah cinta pada diri sendiri pun harus diimbangi
dengan bentuk-bentuk cinta pada yang lain.
Lalu Cinta itu sendiri apa?
Menurut pandangan umum, Cinta adalah sebuah perasaan ingin membagi
secara bersama-sama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang.
Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang
dilakukan manusia terhadap objek lain baik berupa pengorbanan diri,
empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti
perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa saja yang diinginkan
objek tersebut.
Tapi menurut saya, Cinta itu pada dasarnya adalah untuk saling
menyelamatkan, saling melindungi dan membahagiakan diri. Jika kita
mencintai diri atau pun orang lain dengan sepenuh hati, itu artinya kita
menggantungkan diri pada makhluk yang dengan berbagai kelemahannya
belum tentu dapat memberikan semua kebahagiannnya. Oleh karena itu,
cinta yang sepenuh hati hanya patut kita berikan pada Sang Khalik yang
sudah pasti memberikan respon yang dapat menentramkan hati, karena Dia
pasti akan memberikan balasan setimpal bahkan lebih daripada yang kita
berikan kepada-Nya.
Firman-Nya ada dalam sebuah hadist qudsi, “Jika dia (hamba-Ku)
mendekat kepadaku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa.
Jika ia mendekat kepada-Ku sedepa, Aku akan mendekatinya sehasta, jika
ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan
berlari.”
Mungkin kita beralasan bahwa respon dari sesama makhluk itu dapat
terlihat, sedangkan respon dari-Nya tidak bisa terlihat. Misal, kalau
kita tertawa kepada seseorang, kita bisa langsung melihat responnya,
apakah ia membalas tertawa ataukah malah cemberut.
Well…
Respon dari Allah memang tak dapat terlihat secara kasat mata, namun
dapat dirasakan. Nah, untuk dapat merasakannya tentunya seorang hamba
mesti benar-benar tulus dalam mencintai-Nya. Sepanjang cinta kita
pada-Nya masih terkalahkan oleh cinta kita pada hal-hal lain selain
diri-Nya, tentu kita akan sangat sulit merasakan respon itu. Selain itu,
kalau yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang kasat mata saja, sangat
mungkin apa-apa yang terlihat itu sangat bertolak belakang dengan apa
yang ada di dalam hati atau pikiran. Contohnya saja saat kita tersenyum
pada seseorang dan orang lain pun tersenyum, apa kita bisa memastikan
bahwa senyumnya itu pun benar-benar tulus? Atau jangan-jangan di balik
senyumnya itu dia sangat membenci kita, senyumnya hanya sekedar lips service
semata. Sungguh, kita betul-betul tidak tahu apa yang sesungguhnya
berada di balik respon yang ditampakkan seseorang. Seperti kata pepatah
bilang, “Dalamnya lautan kan kuselami, hati orang siapa yang tahu”.
Sedangkan Allah, Ia Maha Tahu sejauh mana kadar cinta seorang manusia
pada diri-Nya. Bahkan, Ia pun tahu sangkaan tiap-tiap hamba-Nya pada
diri-Nya. Jadi, respon yang kasat mata tidaklah dapat dijadikan ukuran.
Hakikat yang sebenarnya adalah di dalam hati, sesuatu yang amat halus
dan lembut, abstrak, tidak berupa dan tidak dapat diraba. Segala
tindakan yang dilakukan akan terasa lebih indah bila dilakukan dengan
hati. Lain lagi ceritanya kalau hanya dilakukan karena dorongan
fisiologis semata.
Misalnya saja dalam urusan seks. Kalaulah seseorang melakukan
aktivitas seksual hanya sebatas pada kenikmatan, apa bedanya dengan
hewan? Dalam kondisi atau dengan cara apapun, aktivitas seksual seperti
itu dapat dilakukan dan pasti melahirkan kenikmatan. Namun, apakah kita,
yang mengaku sebagai makhluk yang paling sempurna ternyata bisanya
hanyalah mengejar kenikmatan belaka? Bukankah semestinya kita
membuktikan bahwa diri kita benar-benar makhluk yang mulia, sehingga
kita tidak memahami cinta hanya sebatas nafsu saja, namun lebih dari
itu, yaitu menggapai cinta yang diridoi Allah, yaitu cinta yang lahir
dari dalam nurani.
Sauh pun tertancap di dasar samudera, kokoh dan lepas dari
keangkuhan. Seperti itulah hakikat cinta. Namun, kadang ia tergadai
dalam sikap egois yang terpasung nafsu.
Saat aku melihat di jalanan ada dua bocah ABG yang sedang
asyik-asyiknya bercanda dan tertawa dengan mesra dibawah remang-remang
lampu taman yang berpendar, seolah-olah dunia milik mereka berdua.
Mereka benar-benar mengingatkanku pada masa lalu. Jujur aku akui, dulu,
walaupun saat ini aku terbilang masih muda tapi diri ini sudah cukup
banyak mereguk berbagai pengalaman tentang asem-manis-pahitnya cinta.
Mulai dari main mata, lirik sana lirik sini, kenalan, pacaran,
seterusnya dan seterusnya. Maka aku dapat mengambil kesimpulan, kadang
manusia itu seperti hewan, cinta hanya digunakan untuk menipu, hanya
untuk sekadar memenuhi bisikan setan yang ngakak puas dengan akal
bulusnya yang diikuti mereka. Setelah pengalaman yang aku alami selama
ini, pantaslah hatiku mendesis pada mereka, “Kasihan, pastilah tak terpikir oleh mereka tentang getirnya sebuah pengkhianatan.” Dan pastilah mereka sudah beranggapan bahwa yang mereka rasakan sekarang adalah yang disebut dengan cinta.
Kita tentu tahu, cinta zaman sekarang sudah dibentuk oleh opini media
massa, acara televisi contohnya, mulai model cintanya orang-orang Barat
hingga roman picisan yang dikemas dalam bentuk sinetron, sineTV, FTV
atau apa pun lah namanya. Ah, itu semua ternyata hanyalah kamuflase
belaka. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, berbagai acara itu telah
mengajarkan kita tentang cinta yang semu. Dan anehnya, orang selalu
mengikuti setiap pesan tanpa berpikir panjang apakah pesan itu positif
atau negatif untuk dirinya. Atau mungkin kita terlalu dungu, tidak
mengerti sebuah trik dari sekelompok orang dibalik layar yang membuat
skenario semua ini. Ah, wajarlah kalau para remaja mudah sekali mereka
jadikan sebagai objek. Dan memang luar biasa sekali pengaruh media
massa, begitu mudah mengubah perilaku orang.
Begitulah realita cinta yang saya saksikan kini. Kalau selama ini
kita selalu patuh terhadap pesan cinta yang ditampilkan oleh si om
sutradara, kenapa kita tak mencoba patuh kepada pesan cinta dari Sang
Maha Sutradara. Kalau kita mencintai seseorang, cintailah dia ala
kadarnya. Karena bisa jadi ia membenci kita. Kalau kita membenci
seseorang, bencilah dia ala kadarnya. Karena bisa jadi ia mencintai
kita. Jadikanlah cinta untuk mendapatkan ridho-Nya, dan janganlah kita
mencari cinta untuk mendapatkan kenikmatan sesaat yang menyesatkan.
Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya berjalan atas rencana
dan pengetahuan Allah. Bahkan tiada sehelai daun pun yang gugur,
melainkan Dia mengetahuinya. Berbicara cinta, artinya berbicara
keyakinan. Lantunan cinta, adalah tembang pengorbanan seorang hamba
dalam lingkup Sang Khalik, yang menumbuhkan ketegaran dan daya juang
yang tinggi. Hingga saat cinta terkhianati, tak berujung putus asa atau
penyesalan. Dan bila cinta terjawab, Rindu Ilahi pun kan selalu
menyertai.
Jadi, makna cinta sejati, sederhananya, menurut saya adalah cinta
terhadap seseorang yang didasari atas kecintaan yang sama terhadap Allah
SWT, bukan karena si dia cakep, cantik, tajir, pinter, dan semua objek
fisiologis lainnya. Itu semua hanyalah opsional. Sebab, cinta yang
berasal dari satu keyakinan akan timbul sebuah kepercayaan, dari sebuah
kepercayaan lahirlah kesetiaan dan dari kesetiaan maka itulah yang
disebut dengan cinta sejati.
Terkesan agamis? Tanyalah diri sendiri, kita manusia yang memiliki agama atau bukan?
Thanks buat Chira atas pertanyaan-pertanyaan tentang “Cinta Sejati”-nya hingga menginspirasi saya untuk menuangkannya disini.
0 komentar:
Posting Komentar